“Klak tak klak tak klak tak” suara keyboard komputer berbunyi, dengan jari-jemarimu yang berdansa diatasnya bagai seorang penari yang anggun. “Klik Klik Klik tak tak tak”.

Ya, kamu adalah seorang mahasiswa, yang sedang tergesa-gesa menyelesaikan laporan eksperimenmu. Di ruangan kau berada tertata berbagai meja kayu cokelat panjang, dengan berbagai alat dan bahan diatasnya yang mencolok dengan warna merah dan hitam. Di sisi depan ruangan itu tergantung sebuah papan tulis, dengan warna hijaunya yang sudah tak asing bagimu. Tertulis disana berbagai rumus dan kalimat, entah apa artinya mereka, taklah kau hiraukan.

Kau sadar bahwa hanyalah kau dan dua orang lain yang tersisa dalam ruangan itu. Di sebelahmu merupakan teman dekatmu, yang sedang berdiri menunggumu dengan tas yang tergantung di bahunya, dengan raut wajahnya seperti ada sesuatu yang ingin dicarinya. Di sisi lain adalah instrukturmu, yang tampaknya seakan acuh tak acuh, dengan goresan tinta merahnya terhadap setumpuk kertas.

Akhirnya berhentilah jari-jemarimu.

Laoshi, sudah selesai”, ucapmu.

Instrukturmu berjalan terhadapmu, menatap sejenak karyamu, dan menuliskan sesuatu diatas suatu kertas buatanmu yang bertuliskan “Research Preview Report”. Kau menghela nafas panjang lega. Segera kau menyimpan semua barangmu ke dalam tasmu dan keluar dari ruangan yang terasa hampa itu Bersama sahabatmu.

“Eh, hari ini katanya ada salju loh”, tutur sahabatmu.

Kau berpikir “Ini pasti bohongan”, maklum kau berpikir demikian. Ibukota Negeri Tirai Bambu ini terkenal dengan kekeringannya yang terasa seperti Gurun Sahara, satu nafas pun dapat membuatmu merasa sesak. Biarpun musim dingin, salju pun kemungkinan jatuhnya bagaikan menemukan emas di balik bantalmu pada esok hari.

Kalian berdua menginjakkan kaki keluar gedung, dinginnya terasa menusuk ke dalam tulang,tak lama pun kau mulai menggigil.

“Memang bohong”, pikirmu.

Langit terlihat biru jernih seperti biasanya, tidak ada tanda-tanda kehadiran dari salju yang sangat kau tunggu-tunggu itu. Semua orang terlihat biasa saja. Kau merasa sedikit kecewa, merasa di PHP-in menurut bahasa anak zaman now.

Sembari kau kayuh sepedamu, tiba-tiba kau merasakan sentuhan lembut, terasa sangatlah mungil. Perhatianmu teralih, kau tatap langit malam yang meriah dengan lampu jalan itu. Satu-persatu mereka pun bermunculan.

Ya, mereka, peri-peri putih kecil yang sangat kau nantikan itu.

Kau tatap wajah temanmu itu dan kau sadar, ekspresinya bagaikan cermin terhadap apa yang terlukis di wajahmu sekarang. Matanya berbinar-binar seperti diri kecilmu dahulu yang menerima kado ulang tahunmu dari Mama dan Papa. Hatimu berdegup kencang, segala pikiran dan sugesti tentang tugas dan pekerjaanmu hilang seketika. Pandanganmu terfokus kepada peri-peri kecil ini. Mereka beterbangan bagaikan anak-anak yang sedang bermain di taman. Tidak terarah, kesana kemari, riang, senang.

“Salju!”. “Salju!”. “Salju!”.

Tak henti-hentinya kau memanggil nama peri-peri kecil itu.

Sampailah kau di kamarmu. Hangatnya seakan mengucapkan padamu “Welcome home”. Kau sadar kamarmu bagaikan diterpa angin topan, berantakan, seperti tumpukan rongsokan. Tetapi, di tumpukan rongsokan inilah kau merasa aman, terlindungi, biarpun hanyalah kau sendiri yang menempati tumpukan rongsokan ini. Kau pun beralih untuk membuka laptop-mu yang bertuliskan titahmu untuk sang laptop, dengan sebungkus nasi kotak hangat, menanti untuk kau lahap. Sembari berpikir tentang tuagsmu itu, kau pun menatap sekitar kamarmu.

Rak bukumu berisi berbagai buku yang mungkin tak begitu kau mengerti isinya, dengan warna kulitnya yang seperti pelangi. Di sampingmu tergeletak sebuah gitar yang merupakan teman curhatmu, selalu ia temani dirimu ketika kau merasa sedih, selalu ia dengan setia mendengarmu bernyanyi, biarpun suaramu tak semerdu alunan malaikat. Di bagian atas terletak sebuah ukulele yang merupakan haril jerih payahmu, berjam-jam kau habiskan untuk membuatnya hinggi ia terasa seperti anak sendiri.  Di kananmu tergeletak berbagai macam hidangan, dari permen, kopi, teh, susu, Oreo, dan kawan-kawannya.

“Ruang Sendiri”, seperti kata Tulus si penyanyi.

Jam menunjukkan pukul 11:30 pada malam hari, perhatianmu pada si laptop terpecah oleh deringan telfon yang menghantam bagai petir.

“Badai Salju! Cepat sini turun!”, ujar temanmu dari balik telefon.

Kau pun tergesa-gesa merongoh tumpukan pakaianmu, kau selipkan saja satu lapis celana panjang kain hitam, dan satu baju dingin merah kesukaanmu. Itu saja, Hanya baju tidurmu dan jaket hoodie kesayanganmu, beserta satu pasang celana kain. Sepatu pun tak kau pakai, hanyalah sandal rumah putihmu dan kaos kaki sekolah yang kau bawa kemari untuk kenang-kenangan dari rumah tercinta.

Kau pun keluar dari asramamu, dan waktu terasa terhenti untukmu seketika. Peri-peri kecil tadi yang hanya bermain-main sekarang menjadi sebuah armada berjubah putih yang senantiasa menerjang daratan di sekelilingmu. Jalan di sekitarmu diselimuti oleh sebuah kainputih yang tak terhingga luasnya. Pohon-pohon pun tak luput diserbu oleh armada-armada putih kecil ini. Dunia menjadi sangatlah berbeda di depan matamu. Kau pun menghela nafas panjang, kau serap semua ini kedalam dirimu, dan kau tempatkan di dalam suatu sisi yang berisi emas-emas berharga dalam hatimu.

Kau berada di dalam dongeng! Seperti yang diceritakan oleh orang tuamu sebelum tidur dahulu…

Kau pun menghampiri lapangan bola tempatmu melatih raga. “Putih”, pikirmu. Tak lama pun kau mengambil segenggam salju dalam tanganmu, dan kau gumpal mereka seukuran bola tenis. Lalu kau lemparkan ke sahabatmu yang berada disampingmu.

Prak! Bola salju pertamamu mendarat di jaket sahabatmu itu.

Tak kau sadari, kalian berdua berlarian mencoba medaratkan bola salju terhadap satu sama lain. Senyum menghias wajah kalian berdua. Suhu minum 2 derajat Celcius yang seharusnya membuatmu mengeluh itu terasa seperti musim panas bagimu.

Di dalam kekacauan itu, deringlah telefon dari sahabat-sahabat SMA-mu, yang mungkin sudah menjadi bagian dari dirimu yang tak bisa kau lepaskan, meskipun laut dan samudera memisahkan, seyogianya jantung kedua yang membuatmu tetap hidup dan berjuang.

Mendengar kata-kata mereka, kau sadar kau adalah manusia yang paling beruntung, salah satu hal yang paling kau nantikan telah terjadi, pada hari ini, hari spesial ini. Hatimu terenyuh, seakan ingin menangis dan tertawa di waktu yang sama. Rasa hangat menyelimuti dirimu bagaikan pelukan dari ibu yang menenangkanmu. Kau pun menatap langit malam di akhir November dengan khidmat, ditemani oleh peri-peri putih kecil yang beterbangan itu, sembari menanti esok hari.

Terdengarlah sepatah ucapan dari balik telefon.

Happy Birthday!”.

Richard Sulistio

Hi, I’m PERMIT Beijing

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *